Jumat, 18 Maret 2011

KNOCK KNOCK

KNOCK KNOCK


Knock, Knock I knocked at heaven's door this morning..
God asked me....'My child, what can I do for you?'
And I said, 'Father, please protect and bless the person reading this message.'
God smiled and answered...'Request granted'.

If you believe, send this to seven people.
By doing this, you have succeeded in praying for eight people today.
'Be kinder than necessary, for everyone you meet is fighting some kind of Battle ..'

GERARD MAYELLA OFS: TOKO GROSIR





GERARD MAYELLA OFS:


TOKO GROSIR

Suatu hari dalam perjalanan hidup saya, saya melihat sebuah papan bertuliskan,
"Toko Grosir Surga".
Ketika saya berjalan dan hendak masuk ke toko itu, pintu segera terbuka dengan begitu lebar.
Sementara saya berdiri dalam kebingungan ketika berada dalam toko tersebut, saya melihat banyak malaikat yang berdiri dimana-mana. Salah satu dari mereka memberikan keranjang belanja kepada saya sambil berkata ,


"Anakku, berbelanjalah dan pilih apa saja yang engkau mau, semua kebutuhan orang Kristen tersedia di toko ini dan jika engkau tidak bisa membawa semua belanjaanmu, engkau boleh kembali lagi kesini."


Pertama-tama saya mengambil
KESABARAN dan KASIH , karena keduanya berada di rak yang sama. Dibawah rak itu saya melihat PENGERTIAN dan saya pun mengambilnya. "Kau selalu memerlukannya dimanapun kau pergi," kata malaikat yang ada di depan saya.

Saya mengambil 2 kotak
KEBIJAKSANAAN dan sekantong IMAN .
Saya juga tidak melupakan
ROH KUDUS karena itu terletak di setiap tempat di dalam toko itu. Saya berhenti sejenak untuk mengambil sebungkus KEKUATAN dan KETEGUHAN HATI untuk menolong dan memampukan saya melalui perjuangan hidup ini.Meskipun keranjang saya sudah penuh, tetapi saya teringat bahwa saya membutuhkan ANUGERAH .

Saya juga tidak melupakan
KESELAMATAN karena saya tahu itu merupakan barang yang gratis di toko tersebut. Saya mengambil lebih , agar bisa membagikannya kepada orang lain yang membutuhkannnya .

Saya berpikir, "ini
kan cuma-cuma." Keranjang saya kini benar-benar penuh dan saya berjalan ke kasir untuk membayar belanjaan. Saya berpikir, "Dengan semua yang saya beli, saya pasti bisa menyenangkan Tuhan saya."
Di depan kasir saya melihat
DOA dan tanpa menunggu lebih lama saya segera mengambilnya karena saya tahu tanpa DOA saya akan segera jatuh dalam pencobaan.

DAMAI
dan SUKACITA adalah dua hal penting yang hampir saya lupakan. Saya segera mengambil satu keranjang kecil untuk keduanya dan untuk NYANYIAN PUJIAN .

Pada akhirnya saya berkata kepada malaikat, "Sekarang berapa yang harus saya bayar?"
Ia hanya tersenyum dan berkata, " Kamu tinggal membawanya saja."
Sekali lagi saya bertanya dalam kebingungan, "Sungguh, berapa harga semua ini?"
Ia tersenyum dan berkata,
"Anakku, bertahun-tahun yang lalu Yesus telah membayar semuanya untuk mu."

Aku terharu, aliran-aliran bening membanjiri mataku.

Di dalam Iman
semuanya sudah tersedia bagi kita yang percaya kepada YESUS.
Kita tinggal mengambilnya kapan dan berapa banyak yang kita mau.
Alkitab berkata bahwa
Ia datang supaya kita memiliki hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan . DIA menjadi miskin agar kita kaya dalam segala hal .

Saat ini
"Toko Grosir Sorga" masih terbuka, dan YESUS mengharapkan agar kita semua datang dan menikmati hasil dari pengorbananNYA . (MANNA SORGAWI no 99 tahun IX)

Jika anda merasa diberkati dengan renungan ini,  kirimkan kepada orang-orang yang anda kenal supaya berkat itu selalu mengalir

 
Have a Great Day!

TEMPTATIONS OF JESUS CHRIST

TEMPTATIONS OF JESUS CHRIST
(A biblical refection on THE FIRST SUNDAY OF LENT [YEAR A], March 13, 2011)


Gospel Reading: Mt 4:1-11

First Reading: Gen 2:7-9;3:1-7; Psalms: Ps 51:3-6,12-14,17; Second Reading: Rom 5:12-19 (Rom 5:12,17-19)

The Scripture Text
Then Jesus was led up by the Spirit into the wilderness to be tempted by the devil. And He fasted forty days and forty nights, and afterward He was hungry. And the tempter came and said to Him, “If You are the Son of God, command these stones to become loaves of bread.” But He answered, “It is written, ‘Man shall not live by bread alone, but by every word that proceeds from the mouth of God.’”
Then the devil took Him to the holy city, and set Him on the pinnacle of the temple, and said to Him, “If You are the Son of God, throw Yourself down; for it is written, ‘He will give His angels charge of you,’ and ‘On their hands they will bear You up, lest You strike Your foot against a stone.’”
Jesus said to him, “Again it is written, ‘You shall not tempt the Lord You God.’” Again, the devil took Him to a very high mountain, and showed Him all the kingdoms of the world and the glory of them; and he said to Him, “All these I will give You, if You will fall down and worship me.” Then Jesus said to him, “Begone, Satan! for it is written, You shall worship the Lord Your God and Him only shall you serve.’” Then the devil left Him, and behold, angels came and ministered to Him. (Mt 4:1-11 RSV)

After spending forty days and nights in solitude, meditation, prayer, and self-denial, Jesus permitted the devil to tempt Him. When the devil stepped in to tempt Jesus, he did not take aim at Jesus’ empty stomach. Instead, he launched a direct assault on Jesus’ relationship with His Father, urging Him to mistrust God’s love and care for Him. In effect, the devil told Jesus, “You are hungry. Do not rely on You Father to sustain You. Do something about it Yourself.”

This is the same temptation the devil levelled at Adam and Eve, our first parents (Gen 3:1-6). At the center of the serpent’s words to them was the lie that God did not love or provide for His newly created people. Throughout time, the devil has used this type of distortion to undermine our relationship with God, especially when we feel vulnerable – when we fast, when we examine our hearts and repent, when we are ill, or when we are heartbroken.
We must recognize Satan’s tricks and counter them with truth. Because Adam and Eve did not hold fast to the truth about God’s love, they succumbed to Satan’s tempting. While their failure can seem like an enormous and perhaps unforgivable mistake – and indeed it had disastrous implications – God never stopped loving them. Today, He loves us just as deeply and resolutely. In fact, not one person in history has ever been outside of God’s offer of mercy and reconciliation.

Satan often uses the shame we can feel over our sins to cloud our consciences, but we should never be blinded to God’s forgiveness and love. Today, we should remind ourselves that God loves each and everyone of us. Therefore, we can say it out loud many times today: “God loves me!” In prayer, we can ask God to show us His love. Let us ask God to show each of us His love. We can ask Him also for the strength to remain pure, undeceived, and unmoved by the evil one. Let us ask Jesus to come into our hearts and make this season of Lent a blessed time of renewal and grace in our lives.

Short Prayer: Heavenly Father, thank You for Your unwavering love. From the first moment of creation, You have loved me. Thank You for Your mercy and grace. I will worship You alone all the days of my life. Amen.

Tradisi Tionghua tentang Kematian dan Kehidupan Kekal dalam Perspektif Iman Katolik



SEKSI KEMATIAN PAROKI ST MARIA PARA MALAIKAT
CIPANAS





Tradisi Tionghua tentang
Kematian dan Kehidupan Kekal
dalam Perspektif Iman Katolik


  PENGANTAR

Seluruh kehidupan manusia berkisar di antara dua hal besar ini: kelahiran dan kematian. Bagi orang Tionghua, kedua hal ini sama-sama merupakan peristiwa hidup yang luar biasa, yang menentukan seluruh aspek hidup manusia. Baik hidup maupun mati, keduanya merupakan suatu “kehidupan” yang lain; hanya dimensinya saja yang berbeda. Persoalan seputar kematian mendapat perhatian besar karena banyak aspek kehidupan terlibat di dalamnya. Inilah paradoksnya. Perhatian orang Tionghua terhadap hal-hal seputar kematian berasal dari tradisi ribuan tahun yang tetap dipegang teguh.

Kata “kematian” menimbulkan kesan yang sangat menyeramkan; tidak enak didengar, bahkan diucapkan pun “tabu”. Amit-amit! Belum lagi berhadapan dengan kematian itu sendiri. Belum lagi berhadapan dengan orang mati, atau arwah orang mati yang kerap kali diyakini masih bisa “mengganggu” manusia yang hidup. Apa yang diajarkan tradisi mengenai kematian, terutama dalam ajaran Konfusius, menunjukkan inti kehidupan orang Tionghua. Adanya bermacam-macam kebiasaan dan tradisi yang kita lihat di sekeliling kita, terutama mengenai sembahyang terhadap orang meninggal, kerap kali bisa membingungkan kita. Hal ini menjadi semakin rumit, terlebih bila orang Tionghua memeluk agama lain - katakanlah agama Kristiani.

Dalam hal inilah sering terjadi ketegangan. Menjadi pengikut Kristus adalah rahmat Allah yang luar biasa. Namun kerap kali berhadapan dengan tradisi leluhur orang Tionghua menjadi gamang. Ada yang mengatakan ini boleh; ada yang mengatakan tidak boleh. Bahkan kerap kali pandangan dari gereja-gereja Protestan sangat bertentangan dengan Gereja Katolik. Di sekeliling kita terdapat begitu banyak informasi. Dari sekian banyak informasi, tinggal sedikit kebenaran; dan dari sekian sedikit kebenaran, terlebih sedikit lagi kebijaksanaan.


  MASUK KE DUNIA LAIN

Hei Bai Wu Chang
Menjadi paham yang umum diterima di mana-mana - bahkan sejak jaman dahulu - bahwa kematian bukanlah akhir segalanya. Kematian hanyalah perpindahan manusia dari dunia ini ke dunia lain. Maka dalam banyak kebudayaan diadakanlah pelbagai macam upacara untuk “menghantar” jiwa orang yang meninggal ke “tempatnya yang baru”. Kebanyakan budaya mempercayai bahwa jiwa kekal, dan berpindah tempat. Karena itu manusia yang masih hidup ini mempunyai kewajiban memperlakukannya dengan baik.

Bagi orang Tionghua, kematian adalah perpindahan manusia dari dunia Yang ke dunia Yin. Yin dipahami sebagai segala unsur yang lembut, basah, rendah, negatif, gelap, dan sebagainya. Sementara Yang dipahami sebagai unsur sebaliknya. Baik yin maupun yang selalu bertolak belakang, namun keduanya berada dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah karena pergolakan yin dan yang. Terkadang yin lebih menonjol dan terkadang yang lebih menonjol. Namun semuanya itu akan kembali seperti semula, dan menjadikan semuanya netral.

Dengan meninggal, orang masuk ke dalam dunia yin yang tidak kasat mata dan dingin. Dunia mereka adalah dunia roh. Dalam menggambarkan peralihan ini, orang Tionghua mempersonifikasikan dua tokoh Hei Bai Wu Chang yang datang menjemput orang yang mendekati ajal supaya orang tersebut dapat meninggalkan dunia yang dan memasuki dunia yin dengan baik. Bagi sebagian besar orang, kedua tokoh ini dianggap sebagai malaikat pencabut nyawa dan disembah sebagai dewa. Namun sebenarnya mereka bukan dewa, melainkan gambaran dari dunia yin dan yang.


  ROH ATAU HANTU

Di sinilah permasalahannya. Banyak orang mencampuradukkan istilah “roh” dan “hantu”. Bagi sebagian orang, kedua istilah ini sama saja. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak menjelaskan perbedaannya. Hantu disebut sebagai roh jahat (yang dianggap terdapat di tempat-tempat tertentu), sementara Roh disebut sesuatu (unsur) yang ada di jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penyebab adanya hidup.

Untuk memudahkan pembedaan antara roh dan hantu bisa dilihat beberapa ciri berikut:
1. Roh tidak memiliki bentuk nyata, tetapi dapat masuk ke dalam pikiran dan badan orang. Hantu memiliki suatu bentuk tertentu, dan hanya bisa dialami orang dari indera atau perasaan.
2. Disebut roh atau arwah bila mempunyai hubungan keluarga dan melindungi. Menjadi hantu kalau tidak ada hubungan apa-apa dan dianggap mengganggu.

Orang Tionghua tidak mengenal setan dalam arti yang dimengerti sekarang. Bagi orang Tionghua, makhluk rohani (hantu, roh) bisa menjadi siluman atau dewa, tergantung pada sifat dan kepada siapa mereka bergabung. Misalnya Sun Wukong, si Raja Kera, sewaktu mengacaukan Kerajaan Langit dianggap siluman kera; namun setelah “bertobat” ia menjadi dewa. Roh ataupun arwah akan berdiam selamanya di dunia yin, dan bersifat kekal. Karena pengaruh Budhisme, orang Tionghua kemudian mulai menerima ajaran reinkarnasi, dan mencampuradukkannya dengan kepercayaan tradisional.


  PERINGATAN KEMATIAN

Pada dasarnya berdoa untuk orang meninggal, melepas jenazah, memperingati hari kematian merupakan hal yang universal. Secara khusus dalam masyarakat Tionghua, peristiwa ini mendapatkan perhatian yang sangat besar.

Pemakaman merupakan hal yang harus dilakukan secara serius. (Kremasi secara tradisional sangat tidak lazim dan merupakan pengaruh ajaran Budhisme.) Pengaturan pemakaman yang tidak tepat akan mendatangkan kekacauan alam yin dan yang, yang berakibat datangnya bencana terhadap keluarga. Selain itu, antara kedua dunia ini bisa saling berinteraksi. Bila dunia yin lebih kuat, maka dunia yang akan menderita. Sebaliknya juga demikian. Karena itu perlu diadakan pelbagai macam upacara sembahyang untuk menyeimbangkan kedua dunia ini. Selain itu, ajaran Konfusius yang sangat menekankan nilai keluarga menjadi titik tolak mengapa masyarakat Tionghua begitu memperhatikan peringatan atau penghormatan kepada orang yang meninggal. Keluarga adalah tiang utama kehidupan masyarakat yang baik, dan barangsiapa membina hubungan baik dalam keluarga, akan mendatangkan ketenteraman dan kedamaian dalam hidup. Inilah perdamaian di dalam dunia hidup dan dunia mati, bahwa keduanya saling berinteraksi dan saling memperhatikan.


  ALASAN SEMBAHYANG ARWAH

1. Bakti kepada Orangtua

Ajaran bakti kepada orangtua merupakan ciri khas masyarakat Tionghua dan selalu dijunjung tinggi. Bakti ditujukan kepada orangtua bukan hanya sewaktu orangtua masih hidup, melainkan juga setelah orangtua meninggal. Dan ini masih dilanjutkan dengan penghormatan kepada leluhur. Penggunaan marga menunjukkan keturunan atau asal usul seseorang. Kerapkali perbedaan antara “penghormatan” kepada leluhur dan “penyembahan” kepada dewa-dewi sangat tipis dan mudah berubah-ubah. Bagi orang Tionghua, karena kuatnya pengaruh pandangan animistik pada roh dan mudahnya percaya pada dewa-dewi, maka sulit membuat pembedaan yang jelas antara shen (dewa) dengan gui (hantu) atau linghun (arwah).

Dalam Perspektif  Katolik, penghormatan kepada orangtua / leluhur tidaklah bertentangan dengan ajaran Gereja. Bahkan perintah ke-4 dari 10 Perintah Allah (Kel 20:12) mengajak kita menghormati orangtua. Para leluhur boleh dihormati hanya dalam pengertian mereka dikenang dengan hormat, entah karena jasa-jasa atau teladan mereka. Bila sampai menyembah dan memperlakukan leluhur seperti dewa, serta menganggap para leluhur dapat memberikan bantuan seperti yang kita minta, maka kita jatuh ke dalam paham animisme, bahkan pada penyembahan berhala.


2. Ketakberdayaan Arwah

Bila arwah masuk ke alam yin, mereka sudah tidak berdaya dan tidak bisa menolong dirinya sendiri; mereka harus dibantu dari dunia yang melalui persembahan- persembahan, pembakaran kertas sembahyang. Kertas-kertas sembahyang (uang-uangan, rumah-rumahan) semuanya akan diterima oleh arwah leluhur di alam yin dan dipakai untuk keperluan sehari-hari. Mereka sendiri tidak berdaya dan tidak bisa apa-apa dan karena itu membutuhkan bantuan dari sanak keluarga yang masih hidup di dunia yang.

Dalam Perspektif  Katolik, arwah yang berada di neraka dan api penyucian tidak berdaya sedikitpun atas jiwa mereka. Demikian juga manusia tidak mempunyai daya untuk menyelamatkan mereka. Hanya Allah yang bisa menyelamatkan. Karena itulah Yesus Kristus diutus menjadi Penebus dan Penyelamat; hanya melalui Yesus ada keselamatan, sebab Dia adalah jalan, keselamatan dan hidup. Persembahan apa pun (makanan, kertas sembahyang, dll) yang ditujukan tidak mempunyai arti apapun, karena persembahan itu tidak bisa menolong mereka, tidak mempunyai kuasa penyelamatan. Hanya Kristus penolong sejati. Justru orang Katolik jatuh ke dalam “penyembahan berhala” bila menganggap persembahan- persembahan itu bisa menyelamatkan dan menolong arwah. Kita tidak bisa menyelamatkan arwah-arwah yang menderita, tetapi kita bisa berdoa memohonkan rahmat dan pengampunan Tuhan bagi arwah-arwah di api penyucian agar mereka dapat segera bebas dari siksa sementara dan segera bersatu dengan Allah dalam kebahagian abadi di surga.


3. Rahmat atau Bencana

Terjadi pemahaman dualisme yang bertentangan. Di satu pihak dikatakan bahwa arwah-arwah perlu ditolong dengan persembahan- persembahan. Namun di lain pihak, orang Tionghua berpikir bila arwah orangtua tidak disembahyangi, maka arwahnya akan menjadi hantu yang marah dan mengganggu keluarga yang masih hidup, bahkan mendatangkan bencana. Sebaliknya, bila arwah senang, maka keluarga akan merasa dilindungi dan diberkati. Seakan-akan arwah itu sendiri mempunyai kekuatan dan kuasa untuk mendatangkan berkat atau kutuk. Untuk itu, keluarga yang masih hidup harus berhati-hati memperlakukan arwah, terutama dalam upacara-upacara sembahyang. Banyak syarat yang harus dijalankan agar arwah menjadi tenang. Apalagi kalau ada anggota keluarga yang mendapatkan mimpi tentang keadaan orangtua atau leluhur yang menderita di alam yin.

Dalam Perspektif  Katolik, mendoakan arwah (perhatikan, bukan berdoa kepada arwah) muncul dari sikap cinta dan hormat kepada orang yang meninggal. Orang Katolik tidak berdoa karena takut arwah-arwah itu dapat mendatangkan bencana atau rahmat. Rahmat hanya dari Allah untuk menolong manusia menjadi semakin dekat dengan-Nya dan membantu manusia mengatasi tantangan-tantangan hidup. Bila arwah sudah tidak berdaya terhadap diri mereka sendiri, bagaimana mungkin mereka bisa mengganggu manusia yang hidup? Kepercayaan akan mimpi justru akan semakin menjerumuskan orang Katolik kepada tahyul. Apalagi sampai karena mimpi, iman orang menjadi terganggu dan goyah sehingga mulai tergoda untuk memberikan persembahan- persembahan kepada arwah. Justru di sini bisa dipertanyakan apakah setan bekerja untuk menjerumuskan kita sehingga melanggar perintah pertama dari dekalog (10 Perintah Allah).


4. Jasa atau Teladan Tokoh

Kerapkali dalam kehidupan ini ada orang-orang yang begitu menonjol keutamaan hidup atau ajarannya. Sebut saja Konfusius, yang ajarannya menjadi inti tradisi masyarakat Tionghua. Maka jasa-jasa dan teladannya selalu dikenang. Pelbagai tokoh dari pelbagai jaman juga selalu dikenang dan dihormati. Pelbagai cerita rakyat, yang kemudian berubah menjadi pesta rakyat, dikenangkan dengan pelbagai cara. Banyak kisah kepahlawanan, kesetiaan, keadilan, kejujuran, dan segala macam kualitas yang baik dari tokoh diwariskan turun temurun dalam pelbagai simbol. Misalnya kisah Jie Zi Dui (600 SM) dari Kerajaan Jin, atau Yue Fei dari Dinasti Song Selatan (1103-1142). Kadangkala penghormatan berkembang hingga berlebihan, sehingga terjadi bias dari meneladan dan menghormati jasa-jasa menjadi penyembahan kepada pribadi orang tersebut. Sebutlah Guanyu (Kuang Kong) yang banyak disembah di klenteng-klenteng. Hal ini muncul dari sikap masyarakat Tionghua sendiri yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh paham animistik.

Dalam Perspektif  Katolik, mengenangkan jasa orang yang sudah meninggal, terutama para pengaku iman dan martir, merupakan sikap yang sangat terpuji. Bahkan penggunaan nama-nama mereka sebagai santo / santa pelindung sangat dianjurkan dan menjadi tradisi Gereja. Santo / santa menjadi teladan dalam beriman kepada Kristus. Kendati menghadapi banyak kesulitan dalam hidup, mereka tetap teguh dan menjadikan Allah sebagai fokus hidup mereka. Kekudusan yang mereka capai bukanlah hasil usaha mereka, melainkan karena rahmat Allah, dan mereka berjuang untuk menjadikan Allah sebagai harta terindah dalam hidupnya. Maka para kudus menjadi dorongan bagi umat Kristiani untuk bertumbuh dalam panggilan yang didapat melalui Sakramen Baptis.


  PENUTUP

Besarnya penghormatan masyarakat Tionghua terhadap para leluhur tercermin dalam banyak hal. Pertama-tama tentunya sikap bakti kepada orangtua atau leluhur. Sikap inilah yang kemudian berkembang di mana-mana. Karena kurangnya discretio (pembedaan, pemahaman) dari masyarakat Tionghua sendiri, dan rancu dengan pemikiran yang keliru terutama karena pengaruh pandangan animistik, maka bakti kepada orangtua dan leluhur berkembang menjadi kecenderungan menyembah dan berdoa seperti kepada roh-roh dan berhala.

Tidak jarang umat Kristiani ikut mengkonfirmasi bahwa “penyembahan” yang dilakukan kepada leluhur sungguh ada hasilnya, misalnya mendapat mimpi arwah leluhur yang menderita, dan sesudah mengadakan upacara, mereka mendapat mimpi lagi bahwa arwah sudah senang. Pikiran ini sebenarnya masih pikiran yang terikat kepada kebiasaan lama yang tidak Kristiani, masih terbelenggu, diperbudak oleh masa lalu yang belum mengenal Yesus Kristus. Padahal umat kristiani sudah “dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Roma 8:21).

Selain itu, Rasul Paulus mengajar kita untuk melihat Yesus Kristus sebagai pusat seluruh hidup dan pengenalan kita. Apakah kita mampu berkata seperti Paulus, “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dia-lah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Filipi 3:8).


  BEBERAPA PERTANYAAN YANG SERING MUNCUL

1. Bolehkah makan makanan persembahan?

Makan atau tidak makan sama saja, karena berhala-berhala tidak ada (Mzm 115:4-8; 1Kor 8:4). Makanan tersebut tidak membuat kita lebih baik atau lebih buruk. Jadi, bagaimana sebaiknya sikap kita? Saya menganjurkan untuk tidak makan terutama jika ada bahaya menjadi batu sandungan bagi orang lain; selain itu tidak makan makanan persembahan merupakan suatu ungkapan komitmen kita untuk mengamalkan hidup Kristiani. Namun demikian, jika ada situasi yang tidak bisa dihindari, keputusan ada di tangan kita masing-masing apakah memakannya atau tidak; dan kalau kita makan pun kita tidak berdosa.

2. Bolehkah menggunakan hio?

Ada tiga manfaat hio: sebagai alat sembahyang, pengharum ruangan, dan pengukur waktu. Boleh tidaknya menggunakan hio tergantung dari intensi kita dalam menggunakan hio. Berhadapan dengan leluhur: apakah kita mempergunakan hio sebagai ungkapan hormat; ataukah kita mempergunakannya sebagai wujud pengakuan bahwa mereka mempunyai kuasa. Kita tidak mempergunakan hio untuk menyembah berhala.    

3. Bolehkah mendirikan meja abu atau altar keluarga?

Kita mempunyai meja abu atau altar keluarga dengan papan nama leluhur warisan dari orangtua. Jika kita membuangnya, kita takut dianggap tidak berbakti kepada leluhur, takut mengundang bencana, sebab itu kita masih merawat dan terkadang masih menempatkan persembahan di sana. Bagaimanakah seharusnya sikap kita sebagai seorang Kristiani? Kita mengubah meja abu atau altar keluarga menjadi Altar Keluarga Kudus dengan menempatkan patung Tuhan Yesus, Santa Maria dan Santo Yosef. Papan nama leluhur diganti dengan foto leluhur yang dapat ditempatkan dekat benda-benda devosionalia.   

SEKSI KEMATIAN GEREJA KATOLIK DALAM MENGURUS JENAZAH DAN PEMAKAMAN, TENTU TIDAK AKAN MENGESAMPINGKAN TRADISI WARGA TIONGHOA,
SELAMA TIDAK BERTENTANGAN DENGAN AJARAN DAN HUKUM  GEREJA KATOLIK.
SALAH SATU YANGTIDAK BOLEH DILAKUKAN MENARUH  PERSEMBAHAN KUE, DAGING, DLL DI MEJA SALIB DAN FOTO.
HIO DAPAT DILETAKAN DI MEJA YANG LAIN, UNTUK DIGUNAKAN BAGI WARGA YANG LIAN, YANG INGIN MEMBERI PENGHORMATAN DAN BERDOA SESUAI AGAMA MEREKA YANG NGELAYAT (BUDDHA,TAO,KONG HU CHU)


TUHAN MEMBERKATI